Selasa, 03 Januari 2012

WHEN YOU DIVORCE ME, CARRY ME OUT IN YOUR ARMS

Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan plat kami yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk menggendongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kugendong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat bahagia. Ini adalah kejadian 20 tahun yang lalu.

Hari-hari selanjutnya berlalu demikian sederhana seperti secangkir air bening. Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan uang banyak. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih di antara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai di rumah pada waktu yang bersamaan. Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkawinan kami kelihatan bahagia.

Tetapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dewi hadir dalam kehidupanku. Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri di balkon dengan dewi yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya. Ini adalah apartemen yang kubelikan untuknya. dewi berkata, “kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis.”

Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, “pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalau aku telah mengkhianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya. Aku melepaskan tangan dewi dan berkata, “kamu harus pergi membeli beberapa perabot, ok?. Aku ada sedikit urusan di kantor.” Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya. Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas di pikiranku walaupun kelihatannya tidak mungkin.

Bagaimanapun juga, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun kujelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya, ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai di depan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV bersama. Atau, aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh dewi. Ini adalah hiburan bagiku.

Suatu hari aku berbicara sambil bercanda, “ seandainya kita bercerai, apa yang akan kau lakukan?” Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ia menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

Ketika istriku mengunjungi kantorku, Dewi baru saja keluar dari ruanganku. Hampir seluruh staf menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengan dia. Ia kelihatan sedikit curiga. Ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada luka di matanya. Sekali lagi, dewi berkata padaku, “ Hei Ning, ceraikan ia, ok? Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi.

Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, aku pegang tangannya, “ada sesuatu yang harus kukatakan.” Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalau aku terus berpikir. “Aku ingin bercerai”, kuungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang. Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tetapi ia bertanya secara lembut, “kenapa?” “aku serius.” Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku, “KAMU BUKAN LAKI-LAKI!”

Pada malam itu, kami saling membisu. Ia menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan pernikahan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh dewi. Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menuliskan surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah 20 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan. Akhirnya ia menangis dengan  keras didepanku, dimana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.

Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali. Ia menuliskan syarat-syarat perceraiannya: ia tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana: Anak kami akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami. Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, “hei ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita?” Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiakan. “kamu menggendongku dengan lenganmu”, katanya, “jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap menggendongku sampai pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus menggendongku keluar dari kamar tidur ke pintu.”

Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap perkawinannya di akhiri dengan suasana romantis. Aku memberitahukan dewi soal syarat-syarat perceraian istriku. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia mencemooh. Kata-katanya membuatku merasa tidak enak.

Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu. Kami saling merasa pasangan kami seperti orang asing. Jadi ketika aku menggendongnya pada hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk punggung kami, wah, “wah, papa menggendong mama, mesra sekali” Kata-katanya membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut,” mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan pada anak kita.”Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.

Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku. Kami begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Beberapa kerut tampak di wajahnya.

Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “kebun diluar sedang di bongkar. Hati-hati kalau kamu lewat sana.”

Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra seperti sepasang suami istri dan aku masih menggendongku kekasihku di lenganku. Bayangan dwi menjadi samar.

Pada hari kelima dan keenam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti, dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yang telah ia setrika, aku harus hati-hati saat memasak, dan lain-lain. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin erat. Aku tidak memberitahu dewi tentang ini. Aku merasa begitu ringan menggendongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “ kelihatannya tidaklah sulit menggendongmu sekarang.” Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk menggendongnya. Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat, '”semua pakaianku kebesaran.” Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba aku menyadarinya sebab ia semakin kurus itu sebabnya aku bisa menggendongnya dengan ringan, bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia menyimpan semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan perasaan sakit. Tanpa sadar kusentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut.

“Pa, sudah waktunya menggendong mama keluar.”

Melihat papanya sedang menggendong mamanya keluar menjadi bagian yang penting untuknya. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut akan  berubah pikiran pada detik terakhir. Aku menyangga ia di lenganku, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami. Aku menyangga badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.

Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya di lenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali bersekolah. Ia berkata, “sesungguhnya aku berharap kamu akan menggendongku sampai kita tua .” Aku memeluknya dengan kuat dan berkata “Antara kita saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra”. Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku menaiki tangga. Dewi membuka pintu. Aku berkata padanya, “Maaf dewi, Aku tidak ingin bercerai. Aku serius.” Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. “kamu tidak demam?” kutepiskan tangannya dariku. “Maaf, dew, aku cuma bilang minta maaf padamu. Aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan di sebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku menggendongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu”

Dewi tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni tangga dan pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, kupesan sebuah paket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan? Aku tersenyum, dan menulis.

“AKU AKAN MENGGENDONGMU SETIAP PAGI SAMPAI KITA TUA.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar